Perubahan Iklim dan Traveling

Kalaulah Ebiet G Ade berniat untuk remake salah satu lagu fenomenalnya jadi bertema perubahan iklim, mungkin liriknya seperti ini:

Perjalanan ini terasa semakin menyulitkan

Sebab iklim berubah tak menjadi kawan

Banyak cerita yang kini aku rasakan

Saat ku harus bepergian

Oo oho..Oho o oho.. Oo oho.. Oho o oho…

Tubuhku terguncang dihempas angin nan kencang

Kursi bergetar ku cemas dalam pesawat terbang

Perjalanan ini pun seperti jadi saksi

Bumiku sedang menangis sedih

Oo oho..Oho o oho.. Oo oho.. Oho o oho…

***

Banyak hal yang mendorong orang untuk melakukan perjalanan atau traveling. Kalau aku sih seringnya karena urusan akademik, kantor, atau yaa tafakur alam alias pelesir. Tapi siapa sangka, aktivitas traveling pun tak luput terkena dampak perubahan iklim.

Benar loh, gara-gara perubahan iklim, makin banyak aja aku rasakan hal-hal yang membuat kenyamanan saat traveling jadi berkurang, khususnya terkait perjalanan udara. Beberapa diantaranya nih: aturan bagasi yang makin rumit, jadwal terbang yang tak ramah, penundaan (delay) dan pembatalan (cancellation) dadakan, turbulens yang cukup sering, serta realita destinasi yang makin beda dari ekspektasi.

Apa hubungannya, katamu?

Kenapa karena perubahan iklim?

Kawan coba dengar apa jawabnya

Ketika ku ceritakan mengapa

***

Cuaca, Iklim, dan Perubahannya

Oke, jadi gini. Kita tahu kan yah, perubahan iklim membuat cuaca ekstrem jadi sering muncul. 

Eh, cuaca sama iklim beda loh ya. Cuaca itu keadaan atmosfer sehari-hari, seperti suhu, kelembapan, curah hujan, dan angin. Cuaca bisa berubah dalam waktu singkat. Misalnya, pagi siang panasnya minta ampun, tapi sore-sore tetiba hujan dan angin kencang, malamnya gerimis cantik, lalu berhenti dan langit langsung cerah bertabur bintang. Begitulah cuaca. Bukan cuma waktu, cuaca juga bervariasi tergantung lokasi. Di detik yang sama, bisa jadi di Jogja gerimis, di Lombok hujan angin, di Bekasi mataharinya sembilan, panas banget.

Nah, kalau iklim, yaa sebenernya cuaca juga, tapi lebih tepatnya cuaca rata-rata dalam kurun waktu panjang -misalnya 30 tahun- dan di wilayah yang lebih luas. Jadi lebih ke pola ‘normal’ cuaca di area tersebut. So, kalau ramalan cuaca biasanya dibuat per hari berdasarkan kota, kalau iklim lebih luas cakupannya. Contohnya iklim tropis di Indonesia, iklim subtropis di Eropa dan Amerika, iklim kontinental di Rusia dan Kanada, atau iklim dingin di kutub utara dan selatan.

Jadi, kalau bicara perubahan iklim, kita bukan cuma bahas Bekasi yang makin hari makin panas ya. Perubahan iklim bukanlah kearifan lokal, isu ini levelnya sudah Go International. Seperti skincare dan ayam geprek.

Dampak Perubahan Iklim pada Perjalanan Udara yang Aku Rasakan

Kembali ke urusan traveling. Perubahan suhu Bumi dan pola cuaca dalam jangka panjang mempengaruhi dunia penerbangan dan kenyamanan kita sebagai pelaku perjalanan udara. Bandar udara, rute penerbangan, dan lain sebagainya dibuat berdasarkan pertimbangan cuaca dan iklim. Ya kalau iklimnya aja berubah, segala macamnya itu jadi ikutan berubah.

Prinsip pertama dan yang paling utama nih: pesawat bisa lepas landas karena adanya daya angkat dari udara. Di udara ada molekul kecil-kecil gak keliatan. Mereka ini yang membuat pesawat yang sedang berlari kencang di landasan jadi terangkat terbang. Nah, mereka tuh rapet-rapetan di udara dingin, tapi renggang-renggangan di udara panas. Kerapatan molekul ini istilah sains-nya densitas; dan densitas udara mempengaruhi kemampuan mengangkat pesawat. 

Bayangin, lebih gampang mana ngangkat personil BTS yang menjatuhkan diri ke kerumunan penonton konser yang berdesak-desakan, ATAU ke peserta upacara yang saling berjauhan karena disuruh ‘rentangkan tangan’? (Hayoo, gak usah bayangin Jungkook jadi pembina upacara!)

Ilustrasi daya angkat udara pada cuaca panas dan dingin

Intinya, kalau udara semakin panas (molekulnya jarang-jarang), maka semakin susah menghasilkan daya angkat pesawat. Konsekuensinya, pesawat butuh lari lebih kencang buat lepas landas. Berarti butuh bahan bakar lebih banyak. Lebih boros biaya dong, bensin mahal Bund! Dan belum tentu juga landasan pacunya (runway) cukup panjang. Pada kondisi ekstrem, bisa jadi pesawat belum bisa lepas landas padahal sudah di ujung landasan pacu alias mentok. Alhasil, penerbangan harus dibatalkan. Sebagai penumpang, bete banget kan kalau kena cancel. Ini beneran kejadian kok, baca di sini.

Dampak 1: Aturan bagasi yang berubah-ubah

Solusi yang mulai umum diterapkan untuk kasus seperti ini adalah pembatasan beban pesawat. Jadi nggak boleh berat-berat biar gampang terangkat. Masalahnya, ini berujung ke pengurangan penumpang atau barang bawaan. Rugi dong kalau penumpang berkurang, ya kan? Jadi banyak airline yang mengubah-ubah aturan bagasi dan carry-on penumpang, salah satu alasannya ya untuk menyiasati pembatasan beban ini. Nah, dampak ini yang aku rasakan!

Beberapa airline berbiaya murah andalanku sekarang jadi agak ‘pelit’ soal barang bawaan. Tiketnya tetap murah, tapi aturan bagasinya jadi teka-teki njelimet. Setiap mau terbang, harus banget ngecek berulang-ulang. Boleh bawa bagasi berapa ya? Carry-on masih gratis ga? Ukuran dan berat maksimalnya gimana? Salah-salah, malah jadi harus bayar mahal kan! Duh.

Belum lagi kalau niat buka jastip sambil traveling (biar cuan efficient). Gara-gara perubahan ini, titip menitip barang jadi makin merepotkan. Ujung-ujungnya cuma pada bisa titip doa dan titip salam aja.

Dampak 2: Terbang saat gelap

Solusi lainnya untuk mengatasi masalah makin panasnya udara di bandara adalah dengan mengatur jadwal pemberangkatan menjadi malam hari. Terlepas dari perubahan iklim, praktek ini sebenarnya sudah lumrah di negara-negara Timur Tengah yang terkenal panas. Sadar ga sih, penerbangan dari sana tuh malam-malam mulu? Iya, biar gampang ngangkat pesawat buat lepas landas dengan bantuan udara dingin di malam hari. Penerbangan internasional juga umumnya malam atau pagi banget kan? Kenapa? Salah satunya karena penumpangnya banyak, bawaannya banyak, dan udaranya dingin.

Nah, karena udara semakin panas, lama-lama praktek terbang malam ini bisa jadi new normal. Bahkan untuk penerbangan domestik yang penumpangnya ‘ringan’. Sekarang aja aku ngerasa udah mulai pusing liat flight yang murah kok seringnya jadwalnya malam banget atau pagi banget. Buat kita yang traveling sama bocah-bocah piyik, ini ga nyaman banget! Bayanginnya aja udah cape duluan.

Dampak 3: Lebih sering kena delay atau bahkan cancel

Perubahan iklim tak melulu soal panas. Pasalnya, cuaca ekstrem banyak bentuknya. Hujan lebat, angin kencang, badai, dsb. Meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem ini juga berarti menambah besar kemungkinan penerbangan kita ditunda (delay) atau bahkan dibatalkan (cancel). Ingatanku mengatakan, rasanya sudah beberapa kali belakangan ini sering dengar pengumuman di bandara, “Karena alasan cuaca dan keamanan, penerbangan XYZ ditunda xx menit. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.” Hadeh. 

Naik pesawat bersama anak-anak seyogyanya adalah permainan kesabaran. Kalau sudah kena delay, level permainannya tiba-tiba meningkat sulit. Setelah pengumuman delay, biasanya beberapa menit kemudian disusul dengan serangan pertanyaan dari si kecil, “Kok kita ga terbang terbang? Ayo ke pesawat! Lama sekaliii” Dan itu setiap 5 menit. Di-u-lang-u-lang. Aigoo.

Terbang malam + delay + bocah-bocah piyik = Tepar di bandara.

Dampak 4: Ancaman (serius) turbulens

Pun ketika rencana terbang nampak mulus-mulus aja (tidak kena cancel, tidak ada delay, dan bagasi lancar jaya), kekhawatiran berikutnya muncul saat di atas sana.

Pesawat tidak terbang di ruang hampa. Meski cuma udara, bukan berarti tanpa hambatan loh. Di atas sana, bertabur molekul-molekul kecil lainnya seperti karbondioksida (CO2). Kalau jumlahnya cukup, mereka ini sebenarnya baik. Membuat Bumi jadi hangat dan nyaman untuk dihuni manusia. Masalahnya, pemanasan global membuat mereka semakin banyak di atas sana. Dan segala sesuatu yang berlebihan itu kan tidak baik yah. 

Menurut penelitian profesor Paul D William dari Departemen Meteorologi University of Reading di Inggris Raya, ketika jumlah CO2 di udara meningkat 2x lipat, frekuensi turbulens skala besar dan menengah yang dirasakan pesawat ikut meningkat 40-170%, dan kekuatan turbulens nya juga tambah kencang hingga 10-40%. Biar ga bingung sama angka, ya intinya turbulens jadi makin sering banget dan guncangannya makin kuat.

Selain karena meningkatnya CO2, turbulens bisa juga terjadi karena cuaca ekstrem seperti badai. Bahkan badai yang jauhnya ratusan kilometer pun mampu menghasilkan gelombang yang merambat di atmosfer sampai guncangannya bisa dirasakan di pesawat yang kita tumpangi. Nah, kalau perubahan iklim bikin cuaca ekstrem makin sering terjadi, artinya kita bakal mengalami turbulens lebih sering.

Kata penelitian lainnya, turbulens merupakan sumber utama insiden pesawat terbang yang berkaitan dengan cuaca. Banyak kasus cedera penumpang, kecelakaan, atau hilangnya pesawat bermula dari turbulens. Jadi ga main-main loh bahayanya. Makanya aku mah tiap ada turbulens langsung refleks baca doa. Kebayang berita-berita di media tentang kecelakaan atau hilangnya pesawat. Naudzubillah min dzalik.

Dampak 5: Keindahan alam yang berubah

Setelah melalui rangkaian ujian sebelum dan saat terbang, kita masih mungkin merasakan lagi dampak perubahan iklim di tempat tujuan. Khususnya untuk perjalanan wisata nih. Banyak destinasi pelesiran yang keindahannya tak lagi sesuai ekspektasi lantaran terkena dampak perubahan iklim. Mulai dari naiknya muka air laut, terpaan badai, tanah longsor, kebakaran hutan, pemutihan karang, sampai mencairnya salju abadi dan gletser. Keajaiban alam ciptaan Tuhan seperti hutan hujan Amazon, pantai-pantai tropis, rangkaian gunung berselimut salju, dan barisan cantik terumbu karang di dasar laut perlahan mulai rusak akibat naiknya suhu di Bumi.

Beberapa dari tempat ini masih bertengger di daftar impianku dan menunggu untuk dicoret. Tapi belakangan ini rasanya seperti berburu dengan waktu. Misalnya saja Glacier National Park di Montana. Saat pertama diresmikan tahun 1850, totalnya ada 144 gletser menyelimuti area ini. Kini, tinggal kurang dari 30 [data lengkap]. Bahkan, papan informasi di sana terang-terangan menuliskan “gletser di taman nasional ini akan hilang per tahun 2020”. Walau prediksinya meleset, tapi mencairnya gletser di tempat ini terus berlangsung cepat akibat pemanasan global. Mungkin beberapa windu lagi mereka benar-benar hilang. Hal yang sama terjadi di berbagai penjuru Bumi, seperti di pegunungan Jayawijaya, Alpen, Himalaya, Kilimanjaro, atau Patagonia.

Secara tidak langsung, kalau mau menikmati keindahan tempat-tempat ini, aku harus banting tulang jungkir balik lebih keras lagi supaya terkumpul pundi-pundi untuk bisa ke sana dalam waktu dekat. Waktunya pasang motto: Kerja, kerja, kerja! Tipes.

Kalaupun impian itu terwujud (AMIN!), bisa jadi keindahan Glacier National Park atau tempat lainnya sudah berubah. Sayang kan sudah menempuh perjalanan jauh nan melelahkan dan berisiko, plus menguras isi celengan ayam, tapi bukannya bahagia malah kecewa sama ekspektasi sendiri.

Dampak Perubahan Iklim pada Perjalanan Udara yang Kita Rasakan

Sebuah Pengakuan Dosa: Dampak Perjalanan Udara pada Perubahan Iklim

Oke oke, stop playing victim. Dari tadi nyalahin perubahan iklim terus. Biar berimbang, perubahan iklim dan perjalanan udara itu memang sejatinya interaksi dua arah. Saling mempengaruhi satu sama lain.

Faktanya, perjalanan udara -walaupun jarang-jarang- adalah aktivitas penyumbang jejak karbon terbesar yang dilakukan seseorang. Jejak karbon? Maksudnya jumlah total gas-gas rumah kaca (karbondioksida, metana, dsb) yang dihasilkan dari sebuah aktivitas. Ingat, gas-gas ini yang memacu terjadinya perubahan iklim ya. Terus emang sebesar apa sih jejak karbon yang kita buat dari traveling dengan pesawat? Saya bukan ahli urusan hitung-hitungan jejak karbon ini, tapi dari hasil browsing sana dan sini serta menggunakan “Kalkulator Penghitung Jejak Karbon” (dibaca dengan suara Doraemon), kira-kira begini perbandingannya:

  • Penerbangan pulang pergi Jakarta-Seoul menghasilkan emisi karbon yang sama besarnya dengan menggunakan listrik di rumah selama 2 tahun.
  • Tidak melakukan perjalanan udara satu kali saja sama baiknya dengan tidak mengendarai mobil selama setahun.
  • Jejak karbon yang diproduksi dari satu kali penerbangan SATU ARAH mengarungi samudra atlantis (misal: New York ke London, atau setara Bali ke Tokyo) baru bisa dibayar lunas dengan 8 tahun melakukan recycling, atau 2 tahun tidak makan daging.
Infografis Perbandingan Jejak Karbon dari Perjalanan Udara dan Moda Lainnya

Intinya, keputusan personal untuk melakukan perjalanan udara itu dampaknya besar banget terhadap perubahan iklim. Sampai-sampai, banyak yang menyayangkan bahwa kampanye ini kalah gaungnya dengan recycling atau mengurangi tas plastik yang potensi pengurangan jejak karbonnya jauh lebih kecil. Bahkan, di negara-negara maju sampai ada gerakan flight shaming, yang dipopulerkan oleh aktivis remaja kenamaan, Greta Thunberg. Menurutku sih idenya bagus ya, nggak tau kalau Mas Anang karena mengajak orang untuk beralih ke moda alternatif selain pesawat. Tapi… harus hati-hati aja, jangan sampai berlebihan mempermalukan orang-orang yang naik pesawat. Balik lagi, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Kan tidak semua orang sering melakukan perjalanan udara. Ada yang hanya sesekali, kalau pergi haji doang. Atau malah banyak juga yang belum pernah menggunakan pesawat terbang sama sekali. Mereka yang naik pesawat pun bermacam-macam alasannya. Banyak juga yang tidak punya pilihan lain. Jadi kudu hati-hati agar tidak mudah menuduh dan berburuk sangka.

Aku sendiri gimana?

*tarik nafas panjang*

#UntukmuBumiku, 미안해 (mianhae). Ma’aaf sekali ya karena beberapa tahun belakangan ini cukup sering naik pesawat. Baik yang keharusan maupun yang untuk kesenangan. Insya Allah, aku berusaha bertanggung jawab.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Buat kamu yang cukup sering melakukan perjalanan udara seperti aku (loh, ga mau ngerasa bersalah sendiri :p), berikut hal-hal yang aku, kamu, dan kita semua bisa lakukan untuk menebus dosa-dosa jejak karbon yang telah lalu dan mencegah yang tidak perlu di masa mendatang.

Saat merencanakan traveling dengan pesawat:

  • Pikir dua kali sebelum check-out tiket murah atau promo. Apa perlu terbang ke sana? Apakah akan worth it banget pergi ke sana di tanggal tsb? Ada alternatif lain ga? Intinya, terbang saat perlu saja, atau seefisien mungkin lah pokoknya.
  • Alih-alih pesawat, gunakan kereta atau bus jika memungkinkan. Dua moda ini lebih ramah lingkungan dibandingkan pesawat atau mobil. Menurut kesaksian orang-orang, naik kereta juga seru loh.
  • Coba diet pesawat (flight diet) dengan mengurangi traveling pakai pesawat per tahun. Misalnya dari 4x setahun, jadi 2x setahun.

Nah, ini khususnya buat kamu para manajer, petinggi, dan pejabat:

  • Kurangi keharusan karyawan untuk terbang. Kalau urusan bisnis atau kantor bisa dilakukan lewat konferensi video (video teleconferencing), kenapa ngga kan?
  • Bolehkan karyawan untuk menggabungkan perjalanan bisnis dengan cuti/liburan. Misalnya kalau ke Bali, Jepang, Eropa, dsb. Jadi lebih efisien kan, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
  • Berikan waktu liburan tambahan bagi mereka yang mau naik kereta untuk mengganti lamanya waktu perjalanan.
Bu Bos baik hati kasih izin liburan ke Nusa Penida saat harus terbang ke Bali untuk urusan kantor

Saat traveling dengan pesawat tak terhindarkan:

  • Pilih penerbangan langsung tanpa henti/transit, jika memungkinkan. Ini bisa menghindari besarnya emisi dan jejak karbon yang kita hasilkan. Pasalnya, pesawat mengkonsumsi banyak bahan bakar untuk lepas landas. Jadi, makin banyak lepas landas dalam satu trip, makin banyak juga kita tinggalkan jejak karbon.
  • Pilih kursi ekonomi untuk meningkatkan efisiensi. Ini memang soal pilihan antara kenyamanan atau kesadaran lingkungan. Paling nggak, buat pertimbangan aja sih. Prinsipnya transportasi ramah lingkungan itu kan semakin banyak mengangkut penumpang, semakin baik dan efisien. Kelas ekonomi (baca: empet-empetan) tentu saja lebih banyak mengangkut penumpang.
  • Pilih perusahaan penerbangan (airline) dengan bijak. Beberapa airline punya inisiatif bagus untuk mengurangi jejak karbon mereka. Misalnya, pesawatnya lebih baru dengan teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan, terbang dengan sedikit kursi kosong, punya program yang mendukung restorasi Bumi, dsb. Coba deh iseng-iseng cari informasi soal komitmen airline pilihanmu terhadap lingkungan.
  • Bawa barang seringan mungkin. Masih ingat kan? Semakin berat bawaan kita, semakin banyak bahan bakar yang dikeluarkan pesawat untuk terbang. Jadi, berkemas minimalis ala Marie Kondo bisa jadi solusinya. Yang bisa dicoba juga nih, niatkan “satu barang untuk dua tujuan”. Misalnya, pakai kain jilbab jadi syal di tempat dingin, bawa Kindle dibanding buku-buku, dsb. Favoritku sih pakai kanebo jadi handuk. Wkwkwk. Ringan, bisa dicuci, gampang kering. Dan Spark Joy.
  • Kalau koper/tas kita tidak terlalu besar, pilih untuk bawa sendiri ke pesawat sebagai carry-on dibanding check-in baggage. Ini pilihan yang ramah lingkungan. Kenapa? Tas yang kita check-in melibatkan banyak proses yang menggunakan energi atau bahan bakar. Di konter, tas ditimbang, lalu dijalankan lewat sabuk penghantar (conveyor belt) menuju ke mobil pengangkut koper. Semua ini butuh listrik. Lalu si mobil pengangkut koper berjalan dari gedung bandara ke pesawat juga pakai bahan bakar dan menghasilkan emisi tambahan.
  • Tinggal lebih lama di tempat tujuan, jika memungkinkan. Kalau bisa sih puas-puasin deh, jadi tidak perlu balik lagi (naik pesawat lagi) hanya karena satu-dua hal terlewatkan saat kunjungan pertama.
  • Setelah selesai perjalanan, bayar balik jejak karbon yang kita hasilkan dengan melakukan aktivitas yang mendukung pengurangan gas-gas rumah kaca. Misalnya, menanam pohon, restorasi lahan, dll. Bisa juga dengan berdonasi uang, pikiran, atau tenaga untuk gerakan-gerakan lingkungan.
Pilihan-pilihan yang kita buat dapat berdampak baik pada Bumi

Yang tidak kalah penting, membagikan cerita dan pengalaman yang kita alami atau keputusan yang kita ambil terkait aksi-aksi kecil di atas lewat media sosial pun turut membantu menyebarkan pesan dan pengaruh kepada orang-orang di sekitar kita. Terutama kepada mereka yang cukup sering melakukan perjalanan udara karena satu dan lain alasan.

Meminjam sebuah petuah bijak yang pernah aku dengar dari seorang bapak berkumis tipis sembilan tahun silam,

“Tak perlu menunggu raksasa hadir untuk selesaikan masalah. Kita, secara bersama-sama, adalah raksasa itu sendiri.”

Jadi yaa walaupun kekuatan masif seperti pemerintah, industri penerbangan, dan serikat antar bangsa punya potensi besar untuk memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim dari perjalanan udara dengan dana dan kebijakannya, kita juga bisa turut andil melakukan aksi-aksi individu di atas bersama-sama. Saat kita #teamupforimpact, kita adalah raksasa yang tak kalah besar dari mereka. Yuk, bisa yuk!

***

Pada akhirnya, kalaulah Ebiet G Ade benar-benar mau remake lagunya, jangan sampai lanjutan lirik barunya ini menjadi kenyataan.

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita

Yang terlalu acuh kepada gas-gas rumah kaca

Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita

Coba kita bertanya pada Bumi yang mengerang

Oo oho..Oho o oho.. Oo oho.. Oho o oho…

***

2 komentar di “Perubahan Iklim dan Traveling

  1. Pesawat menghasilkan karbon, karbon membuat udara merenggang, yang efeknya ke pesawat juga. Saya nggak kepikiran sampe sini. Selebihnya, terima kasih sudah diingatkan. Tulisan dan grafisnya keren!!! Terniat!

    Suka

Tinggalkan komentar